ETOS KERJA
Pengertian
Etos Kerja
Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah
etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti tempat hidup. Mula-mula tempat
hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata
etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama
muncul pula istilah ethikos yang berarti teori kehidupan, yang kemudian menjadi
etika.
Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan
menjadi beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition
hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat
menterjemahkannya sebagai sifat dasar, pemunculan - pemunculan atau disposisi
(watak).
Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai
guiding beliefs of a person, group or institution. Etos adalah keyakinan yang
menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.
Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of
English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan, yaitu:
The disposition, character, or attitude peculiar to
a specific people, culture or a group that distinguishes it from other peoples
or group, fundamental values or spirit, mores. Disposisi, karakter, atau sikap
khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok
lain, nilai atau jiwa yang mendasari, adat-istiadat.
The governing or central principles in a movement,
work of art, mode of expression, or the like. Prinsip utama atau pengendali
dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya.
Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos
merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara
mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara
berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang
sama.
Menurut Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu
pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila
individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur
bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya
sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi
kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
Menurut Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat
perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen
total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu
organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan
berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan
perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.
Sinamo (2005) juga memandang bahwa etos kerja
merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini
dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber
di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan
ini yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan di
berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku
kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan
(habit) dan budaya kerja. Sinamo lebih memilih menggunakan istilah etos karena
menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku
khas dari sebuah organisasi atau komunitas, tetapi juga mencakup motivasi yang
menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode
etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi,
keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar.
Melalui berbagai pengertian diatas baik secara
etimologis maupun praktis dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan
seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia
untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas
kehidupan, sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.
Aspek-Aspek
Etos (Etika) Kerja
Menurut Sinamo (2005), setiap manusia memiliki
spirit (roh) keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk meraih dan menikmati
keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja
keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung jawab dan
sebagainya. Lalu perilaku yang khas ini berproses menjadi kerja yang positif,
kreatif dan produktif.
Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat
sekarang ini, Sinamo (2005) menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama.
Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis
dan sistem keberhasilan yang berkelanjutan (sustainable success system) pada
semua tingkatan. Keempat elemen itu lalu dikonstruksikan dalam sebuah konsep
besar yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sansekerta) yang
berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu: Sinamo (2005)
Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.
Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma ini kemudian dirumuskan menjadi
delapan aspek etos kerja sebagai berikut:
Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah
pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari
Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen
dan udara tanpa biaya sepeser pun.
Kerja adalah amanah. Kerja merupakan titipan
berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja
dengan benar dan penuh tanggung jawab. Etos ini membuat kita bisa bekerja
sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai
bentuknya.
Kerja adalah panggilan. Kerja merupakan suatu darma
yang sesuai dengan panggilan jiwa sehingga kita mampu bekerja dengan penuh
integritas. Jadi, jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita
bisa berucap pada diri sendiri, I'm doing my best!. Dengan begitu kita tidak
akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
Kerja adalah aktualisasi. Pekerjaan adalah sarana
bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi, sehingga kita akan
bekerja keras dengan penuh semangat. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter,
akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat
kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi
diri dan membuat kita merasa ada. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih
menyenangkan daripada duduk termenung tanpa pekerjaan.
Kerja adalah ibadah. Bekerja merupakan bentuk bakti
dan ketakwaan kepada Tuhan, sehingga melalui pekerjaan manusia mengarahkan
dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. Kesadaran ini pada
gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari
uang atau jabatan semata.
Kerja adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita
bekerja dengan perasaan senang seperti halnya melakukan hobi. Sinamo
mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku,
rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah
karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
Kerja adalah kehormatan. Seremeh apa pun pekerjaan
kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik,
maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Sinamo mengambil
contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap
bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas.
Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, semua novelnya menjadi
karya sastra kelas dunia.
Kerja adalah pelayanan. Manusia bekerja bukan hanya
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani, sehingga harus
bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati. Apa pun pekerjaan kita,
pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai sebagai
pengabdian kepada sesama.
Anoraga (2009) juga memaparkan secara eksplisit
beberapa sikap yang seharusnya mendasari seseorang dalam memberi nilai pada
kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:
Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia.
Bekerja adalah suatu berkat Tuhan.
Bekerja merupakan sumber penghasilan yang halal dan
tidak amoral.
Bekerja merupakan suatu kesempatan untuk
mengembangkan diri dan berbakti.
Bekerja merupakan sarana pelayanan dan perwujudan
kasih
Dalam tulisannya, Kusnan (2004) menyimpulkan
pemahaman bahwa etos kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua
alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat
dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi apabila menunjukkan tanda-tanda
sebagai berikut:
Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap
hasil kerja manusia,
Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu
hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia,
Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna
bagi kehidupan manusia,
Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan
ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki
etos kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya
(Kusnan, 2004), yaitu :
Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani
diri,
Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja
manusia,
Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam
memperoleh kesenangan,
Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Dari berbagai aspek yang telah disebutkan di atas,
dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos kerja tinggi akan terus
berusaha untuk memperbaiki dirinya, sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya
bersifat produktif materialistik tapi juga melibatkan kepuasaan spiritualitas
dan emosional.
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos (etika) kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu:
Agama
Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa
diawali oleh buah pikiran Max Weber.Salah satu unsur dasar dari kebudayaan
modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika
Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini
tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara
berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama
yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan
demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu
pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan
atau modernisasi.
Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi
dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin
tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak
mengumbar kesenangan --namun hemat dan bersahaja (asketik), dan suka menabung
serta berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme
di dunia modern.
Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang etos kerja
berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum
mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan
tertentu dengan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005).
Budaya
Luthans (2006) mengatakan bahwa sikap mental, tekad,
disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya.
Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja.
Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat
yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan
memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem
nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa
sama sekali tidak memiliki etos kerja.
Sosial politik
Menurut Siagian (1995), tinggi atau rendahnya etos
kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya struktur politik
yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja
keras mereka dengan penuh.
Kondisi lingkungan (geografis)
Siagian(1995) juga menemukan adanya indikasi bahwa
etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam
yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha
untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang
pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
Pendidikan
Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas
sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang
mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai
apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan
perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat
pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens,
1994).
Motivasi intrinsik individu
Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki
etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja
merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai
yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang
mempengaruhi juga etos kerja seseorang.
Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi
yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam
(terinternalisasi) dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik.
Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor
yaitu faktor hygiene dan faktor motivator.
Faktor hygiene merupakan faktor
dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan
menyebabkan ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya
motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut
juga faktor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan
kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja,
dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi,
tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor
hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi ekstrinsik.
Faktor yang kedua adalah faktor motivator
sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi
kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga
faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi pencapaian sukses (achievement),
pengakuan (recognition), kemungkinan untuk meningkat dalam karier
(advancement), tanggungjawab (responsibility), kemungkinan berkembang (growth
possibilities), dan pekerjaan itu sendiri (the work itself). Hal-hal ini sangat
diperlukan dalam meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pegawai hingga
mencapai performa yang tertinggi.
Dengan memahami apa itu etos kerja, serta
aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menerapkan etos kerja serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan sebuah organisasi (termasuk
organisasi Kementerian Keuangan) akan meningkat produktifitas dan
profesionalitas kerjanya.
Indonesia sangat membutuhkan peningkatan etos kerja
di semua lini organisasi pemerintahan dan swasta, sehingga di masa depan dapat
terwujud bangsa Indonesia yang maju dan disegani masyarakat internasional.
Ciri-ciri
Etos Kerja
Seseorang yang memiliki etos kerja, akan terlihat
pada sikap dan tingkah lakunya dalam bekerja. Berikut ini adalah beberapa
ciri-ciri etos kerja:
Kecanduan terhadap waktu. Salah satu esensi dan
hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan
merasakan betapa berharganya waktu. Dia sadar waktu adalah netral dan terus
merayap dari detik ke detik dan dia pun sadar bahwa sedetik yang lalu tak akan
pernah kembali kepadanya.
Memiliki moralitas yang bersih (ikhlas). Salah satu
kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja adalah nilai
keihklasan. Karena ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih sayang dan
pelayanan tanpa ikatan. Sikap ikhlas bukan hanya output dari cara dirinya
melayani, melainkan juga input atau masukan yang membentuk kepribadiannya
didasarkan pada sikap yang bersih.
Memiliki kejujuran. Kejujuran pun tidak datang dari
luar, tetapi bisikan kalbu yang terus menerus mengetuk dan membisikkan nilai
moral yang luhur. Kejujuran bukanlah sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah
panggilan dari dalam sebuah keterikatan.
Memiliki komitmen. Komitmen adalah keyakinan yang
mengikat sedemikian
kukuhnya sehingga terbelenggu seluruh hati nuraninya dan
kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya. Dalam
komitmen tergantung sebuah tekad, keyakinan, yang melahirkan bentuk vitalitas
yang penuh gairah.
Kuat pendirian (konsisten). Konsisten adalah suatu
kemampuan untuk bersikap taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan
prinsip walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka
mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif.
SUMBER :